Dalam tradisi pesantren salaf, metode pembelajaran yang paling personal dan mendasar adalah Sorogan. Istilah sorogan berasal dari bahasa Jawa yang berarti ‘menyodorkan’ atau ‘menyerahkan’. Dalam konteks pengajaran, Sorogan merujuk pada praktik di mana santri secara individu membaca atau menyodorkan hafalannya (baik hafalan Al-Qur’an maupun teks Kitab Kuning) langsung di hadapan Kyai atau Ustadz. Praktik ini berfungsi sebagai deteksi dini yang sangat efektif untuk mengidentifikasi dan mengoreksi kesalahan bacaan, pemahaman, atau bahkan kekeliruan dalam penafsiran makna oleh santri. \
Efektivitas Sorogan terletak pada sifatnya yang face-to-face dan intensif. Berbeda dengan metode bandongan (kyai membaca, santri menyimak), sorogan memastikan bahwa setiap santri mendapatkan perhatian penuh dari pengajar. Di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, metode ini diwajibkan setidaknya satu kali sehari untuk setiap santri yang mendalami ilmu Nahwu dan Sharaf. Data evaluasi yang dihimpun oleh tim pengajar pada 15 Oktober 2024 menunjukkan bahwa kesalahan fatal dalam penentuan i’rab (perubahan akhir kata Arab) menurun hingga 80% pada santri yang rajin mengikuti Sorogan dibandingkan dengan santri yang hanya mengandalkan bandongan.
Proses deteksi dini kesalahan melalui Sorogan sangat penting, terutama dalam pengkajian Kitab Kuning. Ketika santri membaca teks berbahasa Arab, Kyai dapat segera mengoreksi kesalahan dalam pelafalan (yang bisa mengubah makna), penetapan harakat, hingga pemahaman tata bahasa Arab yang sangat kompleks. Kesalahan kecil yang tidak terdeteksi sejak awal dapat menumpuk menjadi kesalahpahaman besar di kemudian hari. Seorang pakar pendidikan Islam, Dr. Ahmad Shiddiq, dalam sebuah wawancara daring pada hari Rabu, 19 Maret 2025, menekankan bahwa metode Sorogan adalah jaminan kualitas keilmuan yang membedakan lulusan pesantren salaf dengan lembaga pendidikan lainnya.
Selain aspek keilmuan, sorogan juga menanamkan disiplin dan tanggung jawab. Santri harus siap setiap saat, dan ketidaksiapan mereka akan langsung terlihat oleh Kyai. Hal ini melatih mereka untuk menghargai waktu dan persiapan yang matang. Sebuah insiden pernah terjadi pada 5 Juli 2024, di mana seorang santri yang ketahuan tidak mempersiapkan bacaannya dengan baik mendapat teguran langsung dari Kyai, yang sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi seluruh santri mengenai pentingnya istiqamah (konsistensi) dalam menuntut ilmu.
Secara ringkas, Sorogan bukan sekadar tradisi, tetapi sebuah sistem penjaminan mutu yang terpersonalisasi. Dengan metode ini, Kyai tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga menanamkan adab, etika belajar, dan memastikan bahwa setiap santri memahami materi dengan tepat sasaran, sehingga terhindar dari kesalahan mendasar yang berpotensi merusak rantai keilmuan Islam.